menalar.id,. – Partisipasi publik yang minim dalam pengesahan revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) memicu kekhawatiran bahwa DPR tidak lagi menjalankan fungsi perwakilan rakyat. Masyarakat menilai pengesahan revisi UU TNI ini bisa menjadi pintu masuk bagi kembalinya praktik Orde Baru.
Kini, DPR dianggap hanya menjadi “tukang stempel” kebijakan eksekutif, sementara rakyat diperlakukan seperti “Orang Tak Dikenal” (OTK).
Azlia Amira Putri dari KontraS menegaskan bahwa pelabelan masyarakat sipil sebagai OTK menghambat proses check and balance. Padahal, Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jelas menyatakan asas keterbukaan, yang mewajibkan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan.
“Seluruh tahapan legislasi dari mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan harus transparan dan terbuka,” tegas Amira kepada Tirto (21/3/2025).
Pasal 96 UU yang sama juga menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus partisipatif dan bermakna. Masyarakat berhak memberikan masukan lisan maupun tertulis, dan draf RUU harus mudah diakses. Namun, DPR tidak pernah menyebarluaskan draf RUU TNI secara resmi. Bahkan, mereka sempat membantah bahwa draf yang dikritik masyarakat berbeda dengan yang dibahas.
Ketua DPR Puan Maharani mengklaim revisi UU TNI tetap menjunjung demokrasi, supremasi sipil, dan HAM. Namun, proses pengesahannya yang tertutup justru mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.
Komnas HAM sebelumnya telah memperingatkan bahwa minimnya partisipasi publik dalam revisi UU TNI berisiko memunculkan dwifungsi TNI. Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menegaskan, **ketidakterbukaan proses legislasi ini bertentangan dengan UU.
“Komnas HAM mendorong agar setiap RUU dibahas secara transparan dan memberi ruang partisipasi bermakna bagi publik,” ujarnya dalam konferensi pers (19/3/2025), sehari sebelum RUU TNI disahkan.
DPR & Pemerintah: Dua Lembaga yang Menyatu
Amira menegaskan, pengabaian transparansi dan partisipasi publik dapat membatalkan sebuah UU secara formil. Sikap DPR yang mengerdilkan peran masyarakat dan bertindak sebagai “tukang stempel” menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius mendengar aspirasi rakyat.
“Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Judicial Review UU Cipta Kerja telah menegaskan bahwa partisipasi publik yang bermakna adalah amanat konstitusi,” jelas Amira.
Tanpa check and balance, kebijakan hanya akan menguntungkan segelintir elit dan mengabaikan kepentingan rakyat. Transparansi dan partisipasi publik harus menjadi pilar utama dalam setiap pembuatan kebijakan.
Lucius Karus dari Formappi menyoroti bahwa pembahasan RUU TNI terlihat seperti “pertunjukan”di mana peran DPR dan pemerintah sulit dibedakan. Proses tertutup antara kedua lembaga ini membuat mereka terlihat seperti satu entitas.
“RUU TNI seharusnya berasal dari inisiatif DPR, sehingga pemerintah harus memberikan pandangan kritis melalui DIM. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—DPR hanya mengikuti keinginan eksekutif,” ujar Lucius.
Menurutnya, hal ini terjadi karena konstelasi politik yang membuat koalisi partai kehilangan identitas. Parpol lebih mementingkan loyalitas kepada kekuasaan daripada aspirasi rakyat. Akibatnya, DPR tidak lagi menjadi representasi rakyat, melainkan perpanjangan tangan partai.
“Jika DPR tetap menutup ruang partisipasi, demonstrasi mungkin menjadi satu-satunya cara rakyat menuntut haknya,” pungkas Lucius.