Iklan - Scroll untuk melanjutkan
Nasional

Nuklir Dianggap Pilar Baru Ketahanan Energi, MEBNI: Target 35 GW Tahun 2060 Masih Terlalu Kecil

×

Nuklir Dianggap Pilar Baru Ketahanan Energi, MEBNI: Target 35 GW Tahun 2060 Masih Terlalu Kecil

Sebarkan artikel ini

Siarnusantara.id – Ketua Masyarakat Energi Baru Nuklir Indonesia (MEBNI), Arnold Soetrisno, menilai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan langkah strategis dalammemastikan ketahanan energi nasional di tengahmeningkatnya kebutuhan listrik dan keterbatasan energiterbarukan. Dalam wawancara yang didapat, Arnold menekankan bahwa Indonesia tidak memiliki banyak pilihanselain mengadopsi nuklir sebagai sumber energi utama untukmenopang pertumbuhan industri.

Menurutnya, energi terbarukan seperti surya dan angin belummampu dijadikan tulang punggung listrik nasional karenakapasitasnya kecil dan tidak stabil. Sementara itu, energi baruseperti air dan geothermal—dua yang paling potensial di Indonesia—juga memiliki batasan. “Semua potensigeothermal Indonesia maksimal hanya sekitar 30 Gigawatt. Padahal kebutuhan listrik hingga 2060 diperkirakan mencapaitambahan 400 Gigawatt jika ekonomi tumbuh 8 persen per tahun,” ujarnya.

Melihat proyeksi tersebut, Arnold menilai target pemerintahmembangun PLTN berkapasitas 35 gigawatt pada 2060 justruterlalu kecil. Ia menghitung, dengan standar global di mana sekitar 10 persen listrik dunia berasal dari nuklir, Indonesia memerlukan minimal 40 hingga 50 gigawatt dari PLTN saja. “Kalau mau mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, kebutuhan listrik akan jauh lebih besar. Jadi 35 gigawatt itubukan hanya realistis, tapi sebenarnya kurang,” tegasnya.

Terkait kesiapan teknologi dan regulasi, Arnold menjelaskanbahwa Indonesia sejatinya sudah memiliki fondasi kuat. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 dan keberadaanBAPETEN telah mengadopsi standar keselamataninternasional dari IAEA, termasuk tiga prinsip utama Safety, Security, dan Safeguards. Dengan regulasi tersebut, ia menilaitak perlu lagi membangun lembaga regulator baru. “Dari sisiaturan, sebenarnya sudah selesai. Yang diperlukan adalahkonsistensi pemerintah,” katanya.

Namun ia mengkritisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang mengatur pembangunan PLTN berkapasitas 250 MW di Sumatra atau Kalimantan. Menurutnya, kapasitas itu terlalu spesifik dan justrumenghambat masuknya berbagai teknologi nuklir yang lebihmapan. Arnold menyarankan agar RUPTL dibuka fleksibeluntuk teknologi antara 100–1.700 MW, agar investor memilikipilihan lebih luas.

Untuk kesiapan sumber daya manusia (SDM), Arnold memastikan Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Politeknik Nuklir dan jurusan teknik nuklir UGM sudahpuluhan tahun menghasilkan lulusan, dan tiga reaktor risetyang telah beroperasi sejak 1960-an menjadi buktikemampuan SDM dalam mengelola teknologi nuklir secaraaman. “Kita sudah 60 tahun mengoperasikan reaktor tanpakecelakaan. Jadi dari sisi SDM, kita lebih dari siap,” ungkapnya.

Meski demikian, ia tidak menutup mata bahwa nuklir masihdipandang menakutkan oleh sebagian masyarakat. Ia menilaiperan media sangat krusial dalam memberikan informasi yang benar, bukan sekadar memperkuat stigma bahwa nukliridentik dengan bom. Arnold mencontohkan bahwa kecelakaanbesar seperti Chernobyl pun menyebabkan korban jauh lebihsedikit dibandingkan bencana lain seperti banjir. “PLTN secara teknologi tidak bisa meledak seperti bom. Kadar uranium untuk reaktor hanya sekitar 4–5 persen, sedangkansenjata nuklir lebih dari 90 persen,” jelasnya.

Arnold menutup dengan menekankan bahwa keberhasilanprogram nuklir membutuhkan pemerintah yang kuat, konsisten, dan tidak mudah terpengaruh tekanan luar. Iamenilai bahwa pembangunan PLTN harus berjalan paraleldengan pembentukan berbagai lembaga pendukung, bukansaling menunda. “Kalau Indonesia ingin menjadi negara industri, listrik harus tumbuh besar, stabil, dan rendah emisi. Dan untuk itu, nuklir bukan pilihan terakhir — tapikebutuhan,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *