menalar.id,. – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengadakan rapat panitia kerja (panja) untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau RUU TNI di Hotel Fairmont Jakarta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Jumat (14/3/2025) dan Sabtu (15/3/2025). Rapat tersebut berlangsung tertutup dan berlanjut hingga malam bahkan dini hari, sehingga para anggota dewan harus menginap di hotel bintang lima tersebut.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa Tata Tertib (Tatib) DPR Pasal 254 ayat 3 memperbolehkan rapat di luar gedung DPR.
“Pembahasan RUU TNI sedang dalam proses intensif. Waktunya belum tentu selesai malam, kadang hingga dini hari jam 2 atau 3 pagi. Paginya rapat dilanjutkan lagi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (17/3/2025).
Indra menambahkan bahwa DPR tidak memiliki fasilitas tempat tidur untuk anggota dewan yang kelelahan.
“Jadi, harus ada tempat untuk istirahat agar besok paginya bisa kembali tepat waktu membahas RUU TNI,” katanya.
Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menjelaskan bahwa rapat panja di Hotel Fairmont merupakan rapat konsinyering untuk mengelompokkan daftar inventarisasi masalah (DIM). Ia menegaskan bahwa rapat konsinyering di hotel atau di luar Gedung Parlemen sudah menjadi hal biasa.
“Contohnya, pembahasan UU Kejaksaan di Hotel Sheraton dan UU Perlindungan Data Pribadi di Hotel Intercon,” ujarnya kepada awak media saat kembali memasuki Ruang Ruby 1 dan 2, tempat rapat di Fairmont Jakarta, Sabtu (15/3/2025).
Indra Iskandar juga menjelaskan bahwa sebelum memutuskan mengadakan rapat di Fairmont, DPR telah mempertimbangkan 5-6 hotel lain di Jakarta Pusat. Namun, Fairmont dipilih karena biayanya sesuai dengan Standar Biaya Masukan (SBM) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Kami memiliki kerja sama dengan Fairmont, sehingga tarifnya lebih murah. Rapat ini juga telah mendapat persetujuan pimpinan DPR,” katanya.
Rapat di Hotel Mewah Saat Pemerintah Gencar Efisiensi
Rapat di hotel mewah ini menarik perhatian publik, terutama karena digelar saat pemerintah sedang gencar melakukan efisiensi anggaran. Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan efisiensi anggaran melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 senilai Rp306,69 triliun, dan berencana menambah efisiensi hingga mencapai Rp750 triliun.
Hotel Fairmont, yang dipilih untuk rapat panja RUU TNI, dikenal sebagai hotel bintang lima yang mewah. Rapat hari pertama berlangsung di Ballroom Ground Floor mulai pukul 13.30 WIB, sedangkan hari kedua di Ruang Rapat Ruby dari pukul 10.00 hingga 22.00 WIB. Hotel Fairmont memiliki tujuh ruang rapat, dengan perkiraan biaya sewa mulai dari Rp84,7 juta per hari, belum termasuk akomodasi seperti makan dan minum.
Untuk kamar, harga di Fairmont Jakarta bervariasi. Misalnya, Fairmont King berkisar Rp2,49-Rp2,86 juta per malam, sedangkan Fairmont Gold Suite King mencapai Rp6,51-Rp6,84 juta per malam. Total anggota panja RUU TNI berjumlah 34 orang, terdiri dari 18 anggota DPR dan 16 perwakilan pemerintah.
Jika semua anggota menginap di kamar termurah (Fairmont King), biaya menginap mencapai Rp169,32 juta untuk dua malam. Ditambah biaya sewa ruang rapat, total biaya rapat dan menginap diperkirakan mencapai Rp338,72 juta.
Indra Iskandar menegaskan bahwa anggaran tersebut berasal dari kantong DPR sendiri.
“Kami sedang melakukan penghematan seperti kementerian/lembaga lainnya. Anggaran operasional DPR dan Komisi I masih tersedia,” jelasnya.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa rapat yang awalnya direncanakan selama 4 hari dipersingkat menjadi 2 hari untuk menghemat anggaran.
“Sisa pembahasan akan dilanjutkan di Gedung DPR/MPR RI,” ujarnya di Komplek Parlemen, Senin (17/3/2025).
Kritik Terhadap Inkonsistensi Efisiensi
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P. Sasmita, mengkritik rapat konsinyering RUU TNI di Fairmont sebagai kontradiksi terhadap kebijakan efisiensi.
“Di tengah program efisiensi, hal ini terlihat kontradiktif. Untuk kepentingan kekuasaan, efisiensi tidak berlaku,” ujarnya kepada Tirto, Senin (17/3/2025).
Ronny menambahkan bahwa fenomena ini juga terjadi di negara lain, seperti Amerika Serikat, di mana belanja besar tetap dilakukan untuk kepentingan politik.
“Efisiensi seharusnya tidak ada pengecualian. Ini menunjukkan bahwa ada pengecualian berdasarkan kepentingan politik,” tegasnya.
Peneliti Center of Economic on Reform (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga menyoroti inkonsistensi ini.
“Rapat di hotel akan menimbulkan kebingungan di kalangan kementerian/lembaga yang telah berusaha menghemat anggaran. Contoh buruk dari pusat dapat menggeser prioritas yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
Yusuf menambahkan bahwa kebijakan efisiensi seharusnya konsisten dan tidak tebang pilih.
“Ini bisa memengaruhi eksekusi kebijakan efisiensi di tingkat kementerian/lembaga,” tandasnya.