siarnusantara.id,. – Presiden Prabowo Subianto mengklaim akan mengalokasikan anggaran khusus untuk memberantas korupsi. Pernyataan ini ia sampaikan dalam penutupan Rapimnas Partai Gerindra, Sabtu (31/8/2024).
Namun, komitmen ini patut dipertanyakan mengingat rekam jejak pemberantasan korupsi di Indonesia yang kerap stagnan.
Prabowo menegaskan akan menyisihkan anggaran khusus untuk pemberantasan koruptor.
“Mungkin saya akan cek kembali anggaran. Saya akan sisihkan anggaran khusus untuk pemberantasan dan pengejaran koruptor-koruptor itu,” tegasnya.
Prabowo juga menyatakan keseriusannya memberantas korupsi dengan bahasa yang dramatis.
“Kalaupun dia (koruptor) lari ke Antartika, aku kirim pasukan khusus untuk nyari mereka di Antartika,” tambahnya dengan heroik.
Konsistensi vs Realita
Selain itu, Prabowo menyebut korupsi sebagai penghambat kebangkitan Indonesia.
“Semua indikator menunjukkan kita di ambang kebangkitan yang luar biasa. Kuncinya kita harus kurangi korupsi,” katanya.
Namun, tidak ada penjelasan konkret tentang mekanisme pengurangan korupsi “dalam waktu singkat” yang ia janjikan.
Paradoks Perlindungan Keluarga Koruptor
Dalam program ‘Prabowo Menjawab’ wawancara dengan enam pimpinan redaksi di Hambalang (6/4/2025), Prabowo menunjukkan sikap ambigu.
“Kerugian negara yang dia timbulkan, ya harus dikembalikan. Makanya aset-aset pantas kalau negara itu menyita,” ucap Prabowo.
Setelah itu, Prabowo langsung berbalik dengan kekhawatiran yang tidak proporsional.
“Tapi kita juga harus adil kepada anak istrinya… apakah adil anaknya menderita juga?,” tuturnya
Pernyataan ini mengundang tanya, apakah ini bentuk komitmen atau justru “pintu belakang” bagi koruptor?
Analisis Ketidakjelasan Program Pemberantasan Korupsi
Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto tentang anggaran khusus untuk memberantas korupsi menuai harapan sekaligus keraguan. Tanpa rincian nominal, sumber pendanaan, atau batasan waktu yang jelas, wacana ini berisiko menjadi sekadar retorika belaka.
Masyarakat pun bertanya-tanya: berapa besar anggaran yang disiapkan, dari mana sumbernya, dan dalam kurun waktu seperti apa alokasi ini akan digunakan? Tanpa transparansi ini, janji tersebut sulit dibedakan dari sekadar “pemanis kampanye” pasca kemenangan.
Tak kalah mengundang skeptisisme adalah strategi penindakan yang digaungkan Prabowo. Retorika heroik seperti “mengirim pasukan khusus ke Antartika” terdengar dramatis, tetapi apakah didukung oleh mekanisme hukum yang jelas?
Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam ekstradisi koruptor pelarian, bahkan dari negara tetangga. Jika tanpa perjanjian ekstradisi yang kuat, ancaman ke Antartika hanya akan menjadi gimmick politik tanpa realisasi.
Dengan tingkat korupsi sistemik di Indonesia, masyarakat pantas meragukan janji-janji dramatis tanpa peta jalan yang jelas. Pertanyaan besarnya: Akankah Prabowo menjadi pemimpin berbeda, atau hanya melanjutkan tradisi gagal memberantas korupsi?